Total Tayangan Halaman

Kamis, 12 Januari 2012

Tentang Dosen yang Mengajar

Di kampus saya menemukan para dosen yang beragam karakter, ada yg suka senyum ,ada yang susah senyum, ada jua yang tak pernah marah besar. senang nya dikelilingi dosen seperti ini,

Rabu, 28 Desember 2011

Cerita tentang kelas A

Pertama memasuki Universitas Islam Riau Fakulas Ilmu Komunikasi yakni pada minggu ketiga bulan agustus.
Di hari pertama sama seperti mahasiswa baru lainnya, masih malu-malu dan saling berkenalan.

It's time pembagian kelas, saya dapat kelas A, yang dosen kata adalah kelas yang paling baik dalam kata singkatan nya kelas unggulan lah. Dalam kelas A tersebut kami ada 45 mahasiswa, 10 wanita dan sisa nya adalah para lelaki tangguh, ^_^
Dan saya sempat berpikir saya yang paling tua dikelas ini, karena saya terlambat memasuk dunia kampus, 
ternyata eh ternyata ada juga yg sebaya dengan saya,, ^

Secara keseluruhan sampai akhir semester 1 ini, saya lumayan menikmati meskipun ada yang tidak mengenakkanya bareng adek adek 4 tahun dibawah saya,,, Intinya saya selalu bersyukur

Kamis, 22 Desember 2011

Seorang perempuan Brasil, Maria de Nazare (25 tahun), melahirkan bayi berkepala dua yang lalu diberi nama Emanoel dan Yesus.

BRASILIA— Seorang perempuan Brasil, Maria de Nazare (25), melahirkan bayi berkepala dua. Kelahiran berlangsung dalam sebuah operasi caesar di sebuah rumah sakit di Anajas, di negara bagian Para di Brasil utara. Karena lahir mendekati Natal, sang ibu memberi bayinya itu nama Emanoel dan Yesus.

Seusai melahirkan, Maria mengakui dirinya telah diberi tahu bahwa ia akan melahirkan bayi kembar. Setelah sejumlah tes, beberapa saat sebelum kelahiran, para dokter mengungkapkan bahwa bayinya punya dua otak dan dua tulang belakang, tetapi mereka memiliki satu jatung, paru-paru, hati, dan panggul.

Direktur rumah sakit tempat Maria melahirkan, Claudionor Assis de Vasconcelos, mengatakan kepada harian Brasil, O Povo, bahwa perempuan itu memutuskan untuk datang ke rumah sakit karena merasa sakit perut yang hebat. Maria, yang tinggal di daerah pedesaan di negara bagian itu, tidak melakukan tes ultra-sound scans selama kehamilan dan baru mengetahui kelainan bayinya beberapa menit sebelum bayi itu lahir pada pukul 01.00, Senin (19/12).

De Vasconcelos mengatakan, "Ketika para dokter melakukan scan terhadapnya (Maria), mereka mengetahui bahwa bayi itu memiliki dua kepala dan bahwa kelahiran normal akan menimbulkan resiko besar, baik bagi ibu maupun bayinya. Operasi caesar berlangsung satu jam. Dengan semua masalah yang kami miliki sebagai sebuah rumah sakit kecil, kami berhasil menyelamatkan ibu dan bayi itu, yang memang menjadi tujuan kami. Dan bagi kami, adalah kejutan besar ketika mengetahui bahwa bayi itu dalam kondisi kesehatan yang sangat baik."

Neila Dahas, direktur Rumah Sakit Santa Casa, mengatakan, "Jika kedua otak mereka berfungsi, bagaimana kami akan memilih kepala mana yang akan dihilangkan? Kami tidak akan mempertimbangkan kemungkinan operasi. Apa yang kami harus pikirkan saat ini adalah menjaga anak-anak itu dalam kondisi baik dan melihat bagaimana mereka berkembang."

Vasconcelos menambahkan, sang ibu, yang sudah punya tiga anak lain, tampaknya bingung bahwa anaknya memiliki dua kepala. Dia mengatakan, "Sebaliknya, bayi itu diterima dengan penuh kegembiraan oleh keluarga tersebut. Sang ibu memberi makan dua mulut, dan bayi itu ada bersamanya di kamar sepanjang waktu. Keinginan sang ibu adalah untuk segera membawa bayinya pulang ke rumah."

Ibu dan bayi itu dibawa dengan ambulans udara, Selasa siang, ke rumah sakit spesialis di ibu kota negara itu, Belem, untuk melakukan tes lanjutan. Mereka diperkirakan akan diizinkan pulang pada akhir pekan ini.

Kasus ini merupakan kali kedua bayi berkepala dua lahir di Brasil pada tahun ini. Sebelumnya, Sueli Ferreira, 27 tahun, melahirkan seorang bayi berkepala dua di negara bagian Paraiba. Namun, bayi itu meninggal beberapa jam kemudian karena salah satu kepala bayi tersebut kekurangan oksigen.(kcm/ivi)


Wim Hof, Pria Tahan Banting Tidak Takut Es


AMSTERDAM - Hidup dengan cuaca dingin ekstrem tentunya sulit dijalani oleh manusia. Namun hal tersebut tidak menjadi soal bagi seorang pria asal Belanda, yang memegang rekor dunia delapan kali bertahan hidup pada suhu di bawah nol derajat.

Dua tahun lalu, Wim Hof menyelesaikan lari maratonnya di Finlandia pada suhu minus 20 Celsius dengan hanya mengenakan celana pendek. Pada 2008, Hof juga mencatat waktu sekira 73 menit 48 detik ketika dia mampu bertahan dalam es.

Torehan menarik dari Hof ini, kemudian disusun untuk Henny Boogert yang berprofesi sebagai fotografer. Boogert bertemu Hof di Amsterdam 25 tahun lalu. Sejak saat itu, Boogert selalu merekam aksi unik dari pria berusia 52 tahun tersebut.

Menurut Henny, Wim terbiasa duduk di sebuah taman yang memiliki danau beku di musim dingin untuk sekedar membaca buku. Henny dan Hof kerap melakukan perjalanan ke kutub utara, ke gletser yang luas dan sebuah lemari es raksasa dimana mereka bermain catur.

"Aku tidak menang bermain catur, aku hanya berkonsentrasi agar tidak mati kedinginan," ujar Boogert seperti dikutip Metro.co.uk Selasa, (20/12).

Menurut Boogert, Hof udah melatih tubuhnya dari usia dini. Dirinya percaya bahwa pikiran mampu dan dia percaya bahwa pikiran mampu mengendalikan segalanya.
(okz/ivi)



AGAMA


Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi".[1]. Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religiodan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Émile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya

Definisi

Definisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi. Artinya definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Agama merupakan suatu lembaga atau institusi penting yang mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal TuhanDewaGodSyang-tiKami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige dll.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu:
  • menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan
  • menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan
Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.

Cara Beragama

Berdasarkan cara beragamanya:
  1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan. Apalagi bertukar agama, bahkan tidak ada minat. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal keagamaanya.
  2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
  3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
  4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.

Enam agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia, yaitu: agama IslamKristen (Protestan) dan KatolikHinduBuddha, dan Konghucu. Sebelumnya, pemerintah Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu melaksanakan agamanya secara terbuka. Namun, melalui Keppress No. 6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Tetapi sampai kini masih banyak penganut ajaran agama Konghucu yang mengalami diskriminasi dari pejabat-pejabat pemerintah. Ada juga penganut agama YahudiSaintologiRaelianisme dan lain-lainnya, meskipun jumlahnya termasuk sedikit.
Menurut Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Meskipun demikian bukan berarti agama-agama dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bahkan pemerintah berkewajiban mendorong dan membantu perkembangan agama-agama tersebut.
Sebenarnya tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau agama resmi dan tidak resmi di Indonesia, kesalahan persepsi ini terjadi karena adanya SK (Surat Keputusan) Menteri dalam negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP yang hanya menyatakan kelima agama tersebut. Tetapi SK (Surat Keputusan) tersebut telah dianulir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan dengan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang Kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia.
Selain itu, pada masa pemerintahan Orde Baru juga dikenal Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang ditujukan kepada sebagian orang yang percaya akan keberadaan Tuhan, tetapi bukan pemeluk salah satu dari agama mayoritas.





Cerpen____Tart di Bulan Hujan_____


”Ternyata harganya tiga ratus tujuh puluh lima ribu, Pak,” kata Sum kepada lakinya, Uncok.
”Barang apa yang kau bicarakan itu, kok mahal amat?” bertanya suaminya.
Lho, musim hujan tahun lewat dan sebelumnya juga, kan, saya bilang, Pak, roti yang diberi gula yang berbentuk bunga mawar itu harganya tiga ratus lima puluh ribu. Roti itu besar, cukup untuk satu keluarga dengan beberapa tamu. Tapi, sekarang naik dua puluh lima ribu,” Sum mencoba menjelaskan. Lakinya tetap tak paham. Ia menarik rokok sebatang dari bungkusnya dan mencoba menyalakan korek.
Ngerokok lagi,” tiba-tiba Sum sedikit membentak. ”Apa enggak bisa uangnya sedikit disimpan untuk tambahan beli roti.”
”Beli roti bagaimana?” Uncok gantian membentak. ”Kau ini edan, ya. Nyediain nasi aja susah, kok beli roti mewah kayak gitu. Itu makanan menteri, bupati, dan wali kota serta para koruptor. Tahu?! Kita makan nasi ajasama sambal…. Kamu itu mimpi….” Lakinya menegaskan.
Tiba-tiba sepi. Di langit ada mendung yang memberi sasmita akan hujan. Kilat sesekali menggebyar. ”Rumah kita masih bocor,” kata Uncok lagi sambil mendongak. ”Belum bisa beli plastik tebal penahan tiris. Kok kamumikirin roti tart yang, buat kita, harganya triliunan rupiah. Edan kau itu!”
Sum diam. Tak mendengarkan omelan suaminya. Bayangan di depan matanya sangat jelas: tart dengan bunga-bunga mawar, dengan tulisan Happy Birthday. Betapa bahagianya anak yang diberi hadiah itu. Sum sendiri belum pernah mendapat hadiah seperti itu, apalagi mencicipi. Tapi, alangkah lebih bahagia ia jika bisa memberikan sesuatu yang dinilainya luar biasa, betapa pun belum pernah menikmatinya.
”Kurang beberapa hari lagi, Pak,” kata Sum memecah kesunyian.
”Apanya yang kurang beberapa hari lagi?” Uncok membentak. ”Kiamatnya apa gimana? Kita memang mau kiamat. Hakim, jaksa, polisi, pengacara, menteri, anggota DPR… nyolong semua. Dan kau malah mau beli tart lima triliun. Duitnya sapaNyolong? Tak ada yang bisa kita colong. Ngerampok? Kau punya pistol atau bedil? Enggak! Kau cuma punya pisau dapur dan silet untuk mengerok bulu ketiakmu….”
Sum tak menyahut. Pikirannya masih melanglang ke toko roti. ”Kita bisa naik bus Trans Yogya Pak, aman. Enggak ada copet. Pulangnya naik becak aja. Kita harus hati-hati bawa tart sangat istimewa itu, Pak. Ah, si bocah itu pasti seneng banget.… Kalau dia bisa seneng, alangkah bahagia diriku.”
Kedua tangannya dilekatkan pada dada dan membentuk sembah, menunduk. Tuhan, bisik Sum, perkenankan saya membeli tart untuk ulang tahun si anak miskin itu. Ia lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Saking kepinginnya beli tart, seakan ia hendak menangis. Matanya terasa basah.
Kemudian hujan pun rintik-rintik. ”Naaah, mau hujan,” kata lakinya. ”Pindah-pindahin bantal-bantal. Jangan biarkan di situ, tempat tiris deras….” Uncok memberi komando. Sum tenang saja.
”Biarkan tiris membasahi rumah,” kata Sum. ”Itu rezeki kita: air,” sahut Sum.
Uncok tak tahan. ”Kamu kok semakin edan,” lakinya membentak. Malam merambat larut. Tidak diketahui dengan pasti apakah malam itu jadi hujan atau tidak.
***
Gagasan beli tart dengan bunga-bunga mawar itu sudah lama muncul di benak Sum. Dua tahun lalu. Waktu itu Bu Somyang Kapoyos, rumahnya di Surabaya, menginap lima hari di Yogyakarta karena urusan disertasi. Ia membawa putranya. Dan tepat satu hari kemudian, ia teringat ulang tahun anaknya. Cepat-cepat ia berganti pakaian, memanggil taksi dan meluncur ke toko roti Oberlin. Ia pun membeli tart ulang tahun dengan tulisan Happy Birthday dengan lima lilin menyala. Ketika kembali ke home stay, Sum, yang sedang menyapu lantai, melihat roti itu. Tergetar. Astaga, indahnya. Lilinnya menyala, seperti menyala dalam hatinya.
Aku harus beli tart itu, buat si bocah, saat ulang tahunnya di bulan hujan nanti, gumamnya.
”Berapa harganya, Bu?” tanya Sum.
”Tiga ratus lima puluh ribu,” jawabnya.
Astaga! Gaji Sum kerja di home stay hanya dua ratus lima puluh ribu sebulan. Kalau ada tamu, ia memang sering mendapat tip, tetapi cuma cukup buat beli soto Pak Gareng tiga ribuan. Ia masih harus memikirkan seragam anaknya. Suaminya, yang sopir bus, tak selalu bisa bawa uang cukup. Jalan makin padat. Motor jutaan memenuhi jalanan. Sering macet. Kadang harus cari jalan lain. Perjalanan makin panjang. Artinya bensin boros, padahal bahan bakar mesti dibeli sendiri.
Tapi aku harus beli tart itu, gumamnya. Buat si bocah. Di ulang tahunnya di bulan hujan. Ia bakal senang. ”Oh, enggak begitu mikirnya. Tapi gini: semoga ia senang. Tuhan, perkenankan ia senang menerima persembahan roti dari saya,” gumamnya lagi. ”Tuhan, saya butuh sekali bahagia dengan melihat si bocah bahagia.…”
”Di mana tokonya, Bu,” tanya Sum lagi.
”O, deket toko onderdil motor itu,” jawab Bu Somyang, ”Kamu mau beli?” tanyanya.
Sum mengangguk.
”Anakmu ulang tahun?” desak Bu Somyang.
”Buuukan anak saya, tapi kalau dianggap anak saya, ya enggak papa,” jawab Sum.
”Oooo, anak yatim piatu di panti asuhan yang kamu pungut?” Bu Somyang mendesak.
”Bukan, enggak,” jawab Sum.
”Ah, Sum aku tak paham. Tapi, aku ingin ingatkan kalau untuk anak-anak gelandangan, ya enggak usah tart kayak gini. Cukup beberapa potong roti santen apa roti bocongan atau roti teles yang seribuan ditambah minuman dawet. Itu pun tiap gelas cendolnya lima belas atau enam belas biji saja. Kalau anak-anak dibiasakan makan-minum yang mewah-mewah, kurang baik. Bisa tuman, ketagihan.”
Sum diam. Jantungnya terasa tertusuk oleh kata-kata yang diucapkan karena ketidaktahuan. Sum menunduk. Beberapa tahun silam pernah seorang penyair diminta berkhotbah di gereja. Ia berkata, malanglah dia orang yang tak tahu kalau ia tak tahu, hina dan sakit orang yang tak paham kalau ia tak paham. Kata-kata itu mendengung kembali di telinganya ketika ia menatap mulut Bu Somyang yang mengerikan.
”Aku harus membeli tart itu, apa pun yang terjadi,” gumam Sum. ”Apa pun komentar orang aku tidak peduli. Aku hanya ingin si bocah bahagia pada hari ulang tahunnya. Selama bertahun-tahun aku menyaksikan perayaan ulang tahun si kecil, belum pernah ada yang membawa tart. Padahal, kalau mau, mereka bisa beli. Kebanyakan tamu yang datang sedikitnya naik motor, malah ada yang naik mobil. Heran! Bagaimanakah pikiran orang-orang itu.”
Dua minggu setelah menyaksikan tart yang menggetarkan, Sum memutuskan menabung. Ketika dikonsultasikan, Ketua Lingkungan menyarankan agar Sum menabung di bank. Tapi, Pak Karta Wedang memberi tahu bahwa bank kadang-kadang tak bisa dipercaya. Uang para nasabah dibawa lari oleh petugas bank sendiri dan bank tidak bertanggung jawab. ”Oooo, gitu…,” kata Sum, ”Lalu, enaknya gimana, ya?” Pak Karta tidak menjawab.
Akhirnya, Sum memutuskan menabung di rumah sendiri. Ia merencanakan menyisihkan uangnya lima belas ribu setiap bulan. Kalau ia sukses lebih menekan kebutuhan, setahun, kan, seratus delapan puluh ribu. Dua tahun, kan, tiga ratus enam puluh ribu. ”Horeeeee! Dua tahun lagi, aku bisa beli tart buat si kecil. Dan masih sisa sepuluh ribu.” Hatinya bersorak-sorai….
Dan pada bulan hujan tahun ini, kegiatan menabungnya hampir genap dua tahun. Ia tak sabar lagi. Tapi, alangkah kecewa ketika ia menengok di toko roti Oberlin, tart yang dibayangkan sudah naik harganya. Ia sedikit lemas. Ia menjadi pucat. Dan pandangannya berkunang-kunang.
”Ada apa Bu, sakit?” tanya pelayan toko. Sum menggeleng. Ia berkeringat dingin. Punggung terasa sedikit basah, tetapi keleknya terasa basah sekali.
”Ibu mau beli roti?” desak pelayan toko.
”Ya,” jawab Sum sangat pelan hampir tak terdengar. Apalagi lalu lintas hiruk-pikuk.
”Mau beli,” pelayan mendesak.
”Iyaa,” jawab Sum. Pelan sekali.
”Yang mana?”
Sum menuding tart mahal itu.
”Haaah?” Pelayan toko kaget sambil memandangi penampilan Sum.
Sum lemas. Bagaimanapun masih ada kekuatan.
”Tapi tidak sekarang,” Sum menegaskan.
”Oooo, kamu disuruh majikanmu lihat-lihat harganya, begitu?” Sum menggeleng.
”Saya mau beli sendiri. Saya sudah menabung. Tart itu untuk si bocah.”
Pelayan toko tak paham, dan mulai curiga. Karena itu, dengan cara halus, ia menggiring Sum ke luar toko. Perempuan itu melangkah ke luar.
”Masih ada waktu,” gumamnya. ”Aku akan buruh nyuci di kos-kosannya Pak Nur Jentera. Pokoknya, bulan hujan tahun ini aku harus beli tart untuk si kecil. Aku ingin sekali merasakan bahagia ketika bocah itu bahagia. Kalau aku sudah berhasil membeli tart untuk si bocah, aku lega banget. Aku rela mati. Kalau yang aku lakukan dianggap keliru oleh sidang malaikat dan aku harus masuk neraka… ya enggak papa. Aku tetap bahagia di neraka. Ya, mati dengan bahagia sekali karena sudah bisa mempersembahkan roti tart di bulan hujan. Di minggu hujan. Di malam hujan,” gumamnya.
Tiba di rumah, ia langsung mengambil uang tabungannya yang disembunyikan di dalam lemari, di bawah pakaian. Kurang empat puluh lima ribu, gumamnya sambil menghitung uang receh. Ia ingat, ia harus membeli nasi buat anaknya, si Domble. ”Tapi kalau aku berhasil nyuci pakaian di kos-kosan Pak Nur Jentera, semua bakal beres. Slamet bilang, Pak Jentera baik banget sama orang duafa. Beda banget dengan Wak Zettep yang pelit banget dan tukang mempermainkan orang.” Sum menunduk. ”Tuhan, biarkan saya percaya bisa membeli tart untuk si bocah.”
***
Esoknya sudah mulai memasuki bulan hujan. Ia pun menghitung hari. Di lingkungannya, warga sudah sering kumpul-kumpul menyiapkan pesta ulang tahun. Di gereja banyak pengumuman tentang kegiatan menyongsong pesta itu. Sum tak pernah diajak. Alasan ibu-ibu kaya, Sum, kan, sibuk bantu rumah tangga sana-sini. Mana ada waktu buat gini-gini. Di samping itu, kalau ia diajak, Sum selalu merasa tak pantas duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan mereka. Sum selalu merasa dirinya orang duafa yang tempatnya di pinggiran.
Dengan senang Pak Jentera menerima Sum. Tampaknya, lelaki itu terpesona dengan cara kerjanya yang cekatan. Karena itu, tak ragu-ragu ia memberi Sum upah tambahan, bahkan boleh dikatakan setiap hari. Maka, sebelum saat pembelian tart tiba, di tangannya sudah ada uang cukup. Bahkan lebih. Sementara itu, Bu Jentera juga luar biasa perhatiannya. Sekali ia memanggilnya ke rumah.
”Kamu mau pesta apa pada natalan nanti.”
”Ah, enggak pesta kok, Bu, cuma mau beli tart,” jawab Sum.
”Tart? Tart? Siapa yang ulang tahun? Anakmu?” Bu Jentera kaget dan bertanya setengah mencecar. Tapi Sum tetap tenang.
”Bukan anak saya Bu, tapi kalau dibilang anak saya, ya enggak papa,” jawab Sum.
”Ooooooooo, anak pungut? Di panti asuhan dekat rumah Wak Zettep yang terkenal pelit itu?” Bu Jentera bertanya lagi.
”Enggak, bukan… dia anak baik-baik, sangat baik… cantik sekali, pandangan matanya menggetarkan,” jawab Sum.
”Ah, aku tak paham,” kata Bu Jentera.
Lho, kata-kata Bu Somyang di ulang di sini, gumam Sum.
”Tapi baiklah,” kata Bu Jentera lagi, ”kalau mau beli tart, ya, yang baik sekalian,” sambungnya.
Wuuuah, luar biasa ibu ini, kata Sum dalam hati.
”Nih, aku ngiur dua ratus ribu,” kata Bu Jentera sambil senyum sangat manis. Ya Tuhan, apakah Bu Jentera ini malaikat utusanmu, kata Sum dalam hati. Dengan gemetar Sum menerima uang itu. Tepat pada saat itu, Pak Nur Jentera tiba di rumah dari sepeda-an bersama persekutuannya. Ia langsung duduk dan mendengarkan cerita istrinya tentang rencana Sum.
”O, bagus, bagus,” kata Pak Jentera. Ia berdiri lalu tangan kanannya merogoh dompet di saku belakang.
”Mbak Sum mesti beli roti lain untuk tambahan. Kan anak-anak pasti akan datang, rame-rame. Nih, ada tambahan tiga ratus,” katanya dengan tenang. Sum hampir tak memercayai telinganya. Ya Tuhan, engkau begitu dermawan, jerit gembira hati Sum.
Hatinya bersorak-sorai. Ia pun lari ke Bapak Ketua Lingkungan menceritakan rencananya. Hujan pun turun, menderas.
”Apa boleh Bu Sum membawa tart masuk gereja, apalagi meletakkan tart itu di depan patung Kanak-Kanak Yesus di dalam Goa? Pak Koster pasti takut gerejanya kotor. Pastor paroki akan tanya, perayaan Natal dengan tart di depan Kanak-Kanak Yesus itu menurut ayat Kitab Suci yang mana, teologinya apa….”
Tanpa menggubris, Sum berangkat ke toko roti. Sebelumnya mampir ke rumah dulu, menemui suaminya, yang kebetulan tak nyopir. Uncok terdiam mendengar cerita Sum tentang Bapak Lingkungan. Sepi. Lama. Hati Uncok trenyuh. Laki itu merasa harus berbela rasa dengan istrinya. Apalagi ia membawa uang berlebih untuk beli seragam si Domble. Juga uang buat rokok.… Uncok, kemudian, mendekap istrinya.
”Selepas dari toko, pulang dulu,” kata lakinya. Sum tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya terkunci. Keharuan mendesak paru-paru dan tenggorokannya. Suaminya berubah tiba-tiba.
”Tuhaaan, hebatnya dikau. Berangkatlah,” kata suaminya, ”Pulangnya mampir ke rumah dulu sebelum ke gereja.”
Di toko roti, pelayan-pelayannya memandang dengan sebelah mata. Mereka tak percaya Sum punya uang untuk beli tart hampir empat ratus ribu.
”Tidak masuk akal,” kata Tanpoting, pemilik toko roti itu. Ketika Sum akhirnya mengeluarkan uang lebih dari harga tart, baru mereka percaya.
Pukul setengah empat sore Sum tiba di rumah. Alangkah kagetnya dia melihat goa dengan Kanak-Kanak Yesus di dalamnya sudah disiapkan lakinya di tengah rumah. Patung kecil-kecil itu rupanya dipinjam dari asrama para suster.
”Mereka memperkenankan aku memakai ini semua,” kata suaminya. Sum tak bisa berkata-kata apa-apa. Kegembiraan meluap.
”Taruhlah tart di sini,” kata Uncok, persis di depan Kanak-Kanak Yesus terbaring. ”Nanti malam, selesai Misa Natal, anak-anak kita undang ke rumah ini merayakan ulang tahunnya. Tak perlu di gereja. Mereka akan menyanyi panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia…. Lalu anak-anak akan menyantap tart. Biarlah rumah kita kotor, tapi ada senyum dan tawa meriah.”
Sum memeluk suaminya. Air matanya menetes karena haru. Persis hujan turun dengan sangat deras dan rumah sepasang merpati itu tiris di sana-sini, kecuali di atas tart. Seluruh rumah basah, lambah-lambah. Tapi, Sum dan Uncok tertawa terbahak-bahak sambil berpelukan. Si Domble pun ikut menari-nari sambil sesekali nyurimencolek tart yang dibalut gula-mentega-cokelat yang lezat luar biasa. Patung Kanak-Kanak Yesus menatap mereka dengan senyum. Menjelang pukul sembilan malam, anak-anak langsung menyerbu rumah Sum dan Uncok selepas dari misa di gereja.
Mereka menari-nari di depan patung Kanak-Kanak Yesus dan tart. Kue-kue lainnya pun disiapkan. Anak-anak berebut membersihkan rumah yang basah dan kotor luar biasa.
Diam-diam Sum menatap pandangan mata anak-anak yang datang. Seperti bersinar, seperti bersinar… Sum berjongkok dan memeluk mereka satu demi satu. Sum tersedu karena haru dan bahagia….